RESIKO KEMATIAN PADA PASIEN
CEDERA KRANIOSEREBRAL BERAT
DITINJAU DARI ASPEK PaO2 DAN PaCO2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cedera Kranioserebral Berat
Sesuai
dengan uraian dari POKJA Neurotraumatologi SMF Neurologi FKUI, bahwa
cedera kranioserebral berat adalah cedera kranioserebral yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur : nilai pada skala koma Glasgow berkisar
antara 3 – 8 , kemudian pada gambaran klinis terdapat pingsan yang lebih
dari 6 jam disertai adanya defisit neurologik, dan bila dilakukan
skenning otak akan didapatkan hasil yang abnormal . Adapun
nilai nilai yang berkisar antara 3 – 8 pada pemeriksaan skala koma
Glasgow sendiri , berasal dari komponen komponennya yaitu respon buka
mata ( spontan nilai 4, terhadap perintah nilai 3, terhadap respon nyeri
nilai 2, tidakada respon nilai 1 ) , respon verbal ( orientasi baik
nilai 5, konfusio nilai 4, kata yang tidak tepat nilai 3, mengeluarkan
bunyi nilai 2, tidak ada respons nilai 1 ) dan respons motorik (
mengikuti perintah nilai 6, melokalisasi rangsangan nilai
5, menarik ekstremitas yang dirangsang nilai 4, fleksi terhadap
perangsangan nyeri nilai 3, ekstensi terhadap perangsangan nyeri nilai
2, tidak ada respons nilai 1 ) , sehingga nilai tertinggi yang mungkin
didapat pada pemeriksaan menggunakan skala koma Glasgow adalah 15 ,
sedang nilai terendah adalah 3 .(3) Tingkat kejadian dari
cedera kranioserebral berat itu sendiri sangat bervariasi, yaitu
berkisar antara 8-20%; dengan jumlah rata-rata tingkat kejadian berkisar
di angka 10% dari keseluruhan cedera kranioserebral, dengan frekuensi
kejadian tertinggi terdapat pada rentang usia 15 – 50 tahun, yang mana
hal tersebut disebabkan karena pada rentang usia tersebut tingkat
aktivitas seseorang amat tinggi , sehingga cedera kranioserebral berat
yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas , kecelakaan kerja sangat
sering terjadi pada rentang umur tersebut .(1.6) Angka kematian yang terjadi pada cedera kranioserebral berat menurut Currie dan Marion berkisar antara 46-84%. .(1.21)
Sementara
itu , mengenai jenis kelamin , memang pria lebih banyak mengalami
cedera kepala berat dibanding wanita , dengan variasi angka kejadian
yang sangat beragam , namun sebagian besar penulis berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan karena aktivitas pria yang lebih tinggi dibanding wanita .(1,6,8,21)
2.2 Jenis Respirasi
Kita menghirup oksigen dari udara bebas dan membuang CO2
ke udara bebas. Kedua kejadian tersebut merupakan hasil dari proses
respirasi yang kita lakukan. Oksigen kita hirup akan melewati proses
respirasi ekstrasel dan intrasel, demikian pula pembentukan CO2 .(5,12).
2.2.1 Respirasi Ekstrasel
Pada
dasarnya proses respirasi ekstrasel adalah proses pertukaran oksigen
dan karbondioksida yang terjadi di paru. Oksigen dihantarkan ke tempat
yang membutuhkannya sedangkan karbondioksida dibuang. Proses pertukaran
oksigen tersebut tidaklah sesederhana itu, karena berkaitan dengan berbagai mekanisme , dan organ yang memegang peran penting adalah paru yang memegang peran teramat penting(5).
Fungsi utama paru adalah membuang CO2 yang terkandung dalam darah dan menyerap sejumlah O2
ke dalamnya. Proses ini dikenal sebagai pertukaran gas paru yang
meliputi beberapa tahap antara lain dengan ventilasi udara yang dihirup
melalui saluran nafas dan didistribusikan ke dalam berjuta-juta alveolus. Selanjutnya akan diikuti oleh proses difusi O2-CO2 melalui membran kapiler alveoulus, dan darah yang sudah kaya akan oksigen tersebut akan disalurkan ke seluruh tubuh melalui pompa jantung (5,12).
2.2.2 Respirasi Intrasel
Pada
proses respirasi intraseluler, organ sel yang paling berperan adalah
mitokondria. Fungsi mitokondria adalah menghasilkan energi phosphate
melalui serangkaian reaksi dan zat-zat makanan seperti glukosa, asam
lemak, dan asam amino dengan dibantu oleh proses oksidasi yang
membutuhkan oksigen dan menghasilkan karbondioksida. Rangkaian reaksi
tersebut akan menghasilkan senyawa phosphate berenergi tinggi (ATP),
lihat gambar 1(5).
2.3 Udara di Dalam Paru-Paru
Pada
keadaan biasa, udara yang dihirup atau dikeluarkan (volume tidal)
sekitar 500 ml/kali, sedangkan frekuensi nafas kurang lebih 15
kali/menit, sehingga jumlah udara yang dihirup dalam 1 menit adalah
7.500 ml/menit (volume semenit). Jumlah udara yang dihirup ini, tidak
semuanya ikut dalam pertukaran gas paru, karena ada yang tidak ikut
serta dalam pertukaran gas yaitu sekitar 150 ml ( yang ada dalam ruang
rugi anatomi), sehingga hanya 350 ml yang menjadi volume alveolus. Jadi jumlah gas yang ikut dalam pertukaran gas adalah 350 x 15 = 5.250 ml/menit (ventilasi alveolar).
Konsentrasi
oksigen dalam udara 20,93% dengan tekanan udara 760 mmHg. Tetapi ketika
udara dilembabkan di paru tekanan parsial uap air adalah 47 mmHg. Dari
angka angka tersebut didapatkan tekanan parsial O2 dalam paru adalah (760-47) x 20,93% = 149 mmHg. Tekanan O2 dalam alveolus jauh lebih rendah dari udara inspirasi, karena dalam perjalanan udara inspirasi masuk ke alveolus. Sebagian O2 diserap dan diganti oleh CO2, sehingga ketika mencapai alveolus, tekanan parsial O2 hilang sepertiganya, PO2 alveolus sekitar 100 mmHg(4).
2.4 Kecepatan Perpindahan O2 dan CO2 Akibat Perbedaan Tekanan dan Difusi
PO2 alveolus adalah 100 mmHg, sedangkan PO2
darah dalam pembuluh kapiler paru 40 mmHg. Perbedaan tekanan sebanyak
60 mmHg menyebabkan kecepatan difusi cukup tinggi dan mendifusikan O2 melalui membrane ke dalam darah yang mengalir cukup cepat pula, dan kondisi ini akan menaikkan PaO2 sampai 97 mmHg. (4)
2.5 Pengaturan PaO2 dan PaCO2
Sistem saraf mengatur kecepatan ventilasi alveolus hampir tepat seperti permintaan tubuh, sehingga tekanan oksigen (PaO2) dan tekanan karbondioksida (PaCO2)
darah hampir tidak berubah dalam keadaan normal. Hal tersebut
disebabkan karena adanya suatu “sensor oksigen” yang memberitahu tubuh
kapan oksigen diperlukan dan berapa banyak yang diperlukan. Sensor
oksigen tersebar di seluruh sel-sel tubuh dalam bentuk mitokondria
sehingga keperluan oksigen akan sangat terpantau dengan adanya sensor
oksigen tersebut. Selain itu glomus karotikus dan aortikus, suatu
komoreseptor perifer yang bekerja akibat perubahan kadar oksigen di
dalam arteri juga memberi andil dalam pengaturan PaO2 dan PaCO2 tersebut(5,22,23,48,49).
Pengaturan PaO2 dan PaCO2
yang utama dilakukan oleh pusat pernafasan yaitu sekelompok neuron yang
tersebar luas dan terletak bilateral di dalam substansia retikularis
medulla oblongata dan pons(5).
Selain pusat pernafasan, terdapat pula faktor humoral yang mengatur PaO2 dan PaCO2 ini(5).
Konsentrasi ion hidrogen merupakan perangsangan utama untuk merangsang
neuron-neuron di pusat pernafasan. Demikian pula dengan karbon dioksida.
Peningkatan kadar karbon dioksida akan meningkatkan kadar ion hidrogen
karena karbon dioksida akan bergabung dengan air untuk membentuk asam
karbonat yang akan berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat;
sehingga baik itu karena peningkatan ion hydrogen atau peningkatan
kadar karbondioksida yang secara tidak langsung akan meningkatkan kadar
ion hidrogen. (5,24,25,49,50) Keadaan
tersebut akan merangsang neuron-neuron di pusat pernafasan dengan cara:
difusi langsung karbon dioksida dan ion hidrogen dari darah ke dalam
pusat pernafasan dan perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam cairan
serebrospinal yang mengelilingi batang otak.(45,46)
Pada
keadaan trauma atau cedera, khususnya cedera kranioserebral sekunder,
akan diproduksi sitokin atau interleukin, dan glutamat yang menyebabkan
terjadinya proses inflamasi yang akan merusak mitokondria di dalam sel.
Akibat kerusakan tersebut PaO2 dan PaCO2 arteri
akan berubah dikarenakan sistem yang mengaturnya (oksigen sensor)
mengalami kerusakan. Terlebih lagi proses cedera kepala tersebut juga
mengenai pusat pernafasan di pons dan medulla oblongata sehingga tidak
saja pengaturan secara selulernya yang rusak namun juga pengaturan
pusatnya juga rusak(5,12). Dari beberapa kepustakaan yang didapat, dikatakan bahwa puncak perburukan dari perubahan PaO2 dan PaCO2
pada pasien-pasien cedera kranioserebral berat adalah 8 - 12 jam
setelah onset, dimana tercatat 68 – 82 % pasien cedera kranioserebral
berat mengalami perubahan PaO2 dan PaCO2
pada masa 8 – 12 jam setelah onset , teori yang diberikan untuk
pernyataan tersebut adalah bahwa pada saat itu tubuh masih mengadakan
kompensasi terhadap setiap perubahan yang terjadi termasuk kompensasi
dari sistem pernafasan . Hal tersebut terbukti bahwa diluar waktu 12 jam
setelah onset , hanya terjadi 10 – 20 % perubahan PaO2 dan PaCO2 .(37,38,43) Kemudian Littlejohn mengatakan bahwa semakin rendah skala koma Glasgow yang didapat , maka akan semakin besar perubahan dari PaO2 dan PaCO2 yang terjadi , dimana ia mengasumsikan perubahan
tersebut terjadi sesuai dengan tingkat keparahan cedera yang didapat ,
hal tersebut diperkuat oleh van Sabrinks walaupun tidak ada satu
penulispun yang memberikan kepastian dari angka angka yang dicatat .(37,43)
2.6 Otak dan Tekanan Intrakranial
Otak
seorang manusia mempunyai berat antara 1200-1400 gram, dan tersimpan
rapat di dalam rongga kepala. Otak dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan
zat-zat makanannya; diperdarahi oleh dua pembuluh darah besar beserta
cabang-cabangnya yaitu pembuluh darah arteri vertebrobasiler dan arteri
carotis internal. Dalam keadaan fisiologik jumlah darah yang mengalir ke
otak (cerebral blood flow)
ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Jadi jumlah darah
untuk seluruh otak yang kira-kira beratnya 1200-1400 gram adalah 700-840
ml per menit.Otak yang berkedudukan di dalam ruang tengkorak yang solid
dan tertutup; memiliki konsekuensi bahwa volume otak ditambah dengan
volume cairan otak dan ditambah dengan volume darah harus merupakan
angka tetap (konstanta). Pernyataan tersebut kita kenal sebagai hukum
Monroe-Kellie dan dengan kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa tekanan
yang terdapat di dalam ruang tengkorak (tekanan intrakranial)
dipengaruhi dan dipertahankan oleh ketiga elemen tadi. Hukum tersebut
berimplikasi bahwa perubahan volume salah satu unsur tersebut akan
menyebabkan perubahan kompensasi terhadap unsur lainnya agar tekanan
intrakranial dapat dipertahankan. Namun apabila perubahan yang terjadi
tidak dapat dikompensasi oleh salah satu elemen tersebut diatas maka
akan terjadi perubahan tekanan intrakranial.(4,22,23)
Pada saat terjadinya perubahan PaO2 dan PaCO2, maka laju aliran darah ke otak juga akan berubah. Pada PaCO2 yang tinggi dan PaO2 yang rendah
akan terjadi vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah intrakranial,
sehingga akan meningkatkan laju aliran darah ke otak, yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial karena elemen otak dan cairan serebrospinal dapat dikatakan tidak memegang peran dalam
mekanisme kompensasi bila terjadi perubahan pada tekanan intrakranial
.Sehingga praktis secara tidak langsung, pengaturan tekanan intrakranial
melalui kompensasi terdapat pada pembuluh-pembuluh darah intrakranial.(4,27,28,31)
Bila terjadi PaCO2 yang rendah dan PaO2
yang tinggi akan menyebabkan laju aliran darah ke otak berkurang dan
pada keadaan yang berlangsung terus menerus dapat menimbulkan
vasokonstriksi yang sangat sehingga menimbulkan iskemik di otak(1,3,6,7,8,14,37,44,47). Selain PaO2 dan PaCO2 , perubahan tekanan intrakranial melalui mekanisme perubahan
laju aliran darah ke otak juga dapat disebabkan oleh kadar haemoglobin
dan hematokrit , dimana haemoglobin dan hematokrit yang meningkat dapat
menyebabkan laju aliran darah ke otak berkurang , demikian pula
sebaliknya, Hsia dan Menzel menyebutkan angka 23 – 46 % kematian pada
cedera kepala berat yang diakibatkan oleh karena perubahan nilai
haemoglobin (32,52,53 ) ,
demikian pula dengan pH darah , juga mempengaruhi laju aliran darah ke
otak , karena pada saat terjadi alkalemia maka laju aliran darah ke otak
akan berkurang , sedangkan bila terjadi asidemia maka aliran darah ke
otak meningkat , angka perubahan pH berkisar pada 38% pada penderita cedera kranioserebral berat.(32,53)
Pada glukosa ,peningkatan yang terjadi akan meningkatkan tekanan
intrakranial , walaupun tidak ada angka yang menyebutkan secara pasti
berapa persen kematian yang terjadi pada cedera kranioserebral akibat
peningkatan glukosa .(54)
2.7 Patofisiologi Perubahan PaO2, PaCO2 Serta Hubungannya dengan Cedera Kranioserebral Berat
Seperti
sudah disebut di atas, bahwa pada saat terjadinya trauma; maka akan
terjadi cedera primer dan sekunder. Dalam hal ini, seringkali proses
akselerasi, deselerasi, dan puntiran yang terjadi pada kasus-kasus
cedera kranioserebral; akan mengganggu pusat pernafasan di Medulla
Oblongata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila seringkali
ditemukan pasien-pasien cedera kepala datang dengan gangguan pernafasan,
yang akan mengancam oksigenasi otak(1,6,7,8).
Selain
proses primer tersebut, proses sekunder yang terjadi melalui suatu
proses inflamasi, yaitu pelepasan pelepasan sitokin, aspartat, radikal
bebas, dan glutamate, akibatnya akan terjadi kerusakan di mitokondria sel yang akan
mengganggu proses respirasi intrasel. Jadi terganggunya proses
respirasi tubuh atau disfungsi pernafasan oleh cedera kranioserebral ini dapat
disebabkan oleh gangguan pada pusat pernafasan di Medulla Oblongata dan
proses inflamasi yang terjadi seketika setelah cedera kranioserebral (1,6,7,8).
Dari berbagai keputusan, didapatkan bahwa angka kejadian dari perubahan PaO2 dan PaCO2
pada cedera kepala berat sangatlah bervariasi , nilainya berkisar
antara 30 hingga 84%, angka kematian yang diakibatkan oleh perubahan
tekanan gas gas tersebut adalah berkisar antara 16-30%, dan 10 – 20 %
diantaranya melalui mekanisme vasodilatasi dan peningkatan laju aliran
darah ke otak.(20,28,30,31) Perubahan PaCO2 pada penderita cedera kranioserebral berat sangatlah bervariasi ( 6 ). Namun semua kepustakaan sepakat, bahwa PaCO2 arteri, harus dijaga dalam ambang batas normal . Apabila PaCO2
meningkat, akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah otak yang
menyebabkan peningkatan laju aliran darah ke otak, dan akhirnya akan
terjadi peningkatkan tekanan intracranial. Peningkatan tekanan
intrakranial ini dengan berbagai implikasinya merupakan faktor yang
harus dicegah dikarenakan akan memperburuk hasil keluaran yang ada (1,6,7,8,9,11,17,18,19,20, 21,34,36,37,42). Sementara itu, apabila kadar PaCO2
arteri turun terlalu rendah, melalui mekanisme vasokonstriksi akan
menyebabkan spasme pada pembuluh darah otak serta mengancam terjadinya
iskemik(1,6,7,8,9,11,17,18,19,20,21,34,36,37,42). Weiner(7) mengemukakan bahwa penurunan 1 mmHg PaCO2 akan menurunkan laju aliran darah ke otak sebesar 2%. Beberapa peneliti memberi batasan angka kadar PaCO2
normal antara 35-45 mmHg (beberapa penulis menyebut angka 30 mmHg
sebagai batas minimal bagi laju aliran darah ke otak yang adekuad) oleh PaCO2
yang melebihi 45 mmHg sudah dapat meningkatkan tekanan intrakranial,
karena terjadi peningkatan aliran darah ke otak sedangkan bila PaCO2 menurun hingga 26 mmHg dan terus menurun hingga di bawah 25 mmHg, maka CBF akan turun di bawah angka kurang dari 17 mmHg/100 gr/menit (Currie(21) memberikan angka suatu penurunan CBF di bawah 20 cc/100 gr/menit);. Selain terhadap laju aliran darah ke otak, PaCO2 pun berpengaruh terhadap tekanan perfusi otak, karena tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh mean arterial blood pressure dikurangi dengan tekanan intracranial.(21)
Dari kepustakaan, didapatkan keterangan bahwa perubahan PaO2 arteri, tidak memiliki akibat sebesar perubahan PaCO2 (11,17,18,19,20,21,34,36) namun mereka pun sepakat untuk menjaga PaO2 tetap dalam ambang batas normal bahkan cenderung tinggi. Apabila PaO2
berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka akan menimbulkan hipoksia
yang dapat menyebabkan vasodilitasi pembuluh darah otak yang akan
diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke otak, dan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan intracranial. Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah(1,6,7,8,9,11,17,18,19,20, 21,34,36,37,42). Winer menyebutkan bahwa perubahan kadar PaO2 sebanyak 15% persen, hanya akan mengubah sedikit aliran darah ke otak.(7) Di beberapa kepustakaan disebutkan bahwa sebaiknya kita menjaga PaO2 minimal 100 mmHg, bahkan ada penulis yang memberikan nilai yang lebih tinggi, yaitu berkisar antara 140-160 mmHg(9,11).Namun perlu juga diperhatikan , bahwa tubuh seringkali
mengadakan kompensasi tertentu ( pada saat keadaan asidosis / alkalosis
baik itu respiratorik maupun metabolic ) bila telah terjadi perubahan
pada status analisa gas darah penderita , sehingga kadang menyulitkan
kita untuk mengetahui apakah nilai dari PaO2 dan PaCO2 yang timbul merupakan
nilai sebenarnya atau nilai yang telah terkompensasi , hal demikian
juga timbul bila terjadi gangguan pada fungsi ginjal dan paru kronis
yang akan menyebabkan perubahan PaCO2 dan PaO2 .(47)
Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui apakah ada suatu hubungan yang bermakna antara perubahan PaCO2
dengan cedera kranioserebral berat memberikan beragam hasil, ada yang
menyebutkannya terdapat suatu hubungan yang bermakna, seperti yang
dikemukakan oleh Van Sabrinks et al(43), namun ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Carmona et al, Fandino et al dan Sneider et al(17,35,41) menunjukkan tidak adanya suatu hubungan yang bermakna. Sama halnya terdapat perubahan PaO2 hasil penelitian Carmone et al dan Gupta et al(17,42), menyatakan tidak terdapat suatu hubungan yang bermakna antara perubahan PaO2, dengan cedera kranioserebral berat. Hasil tersebut tidak sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Fandino et al, Van Sabrinks et al(38,43).
Salah satu cara tata laksana untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial adalah dilakukan suatu tindakan penurunan PaCO2, pada fase akut terjadinya trauma. Penurunan dilakukan hingga mencapai kadar PaCO2 sekitar 20-25 mmHg, yang dikenal sebagai tindakan hiperventilasi. Penurunan PaCO2 ini akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak dan kondisi ini secara langsung akan menyebabkan penurunan laju aliran darah ke otak; dengan akibat (secara tidak langsung) akan memicu proses iskemik cerebral(9,11,39,40,41).
Hiperventilasi sendiri, memiliki 3 tingkatan, yaitu : Normoventilasi (PaCO2 36-45 mmHg), Moderathiperventilasi (PaCO2 26-35 mmHg), dan Deep Hipervetilasi (PaCO2 20-25 mmHg).(45)
Beberapa
peneliti, masih ada yang beranggapan, bahwa hiperventilasi merupakan
salah satu cara yang sangat efektif untuk mengontrol peningkatan tekanan
intrakranial(39,40), namun lebih banyak yang beranggapan
bahwa :dikarenakan pada masa akut trauma; otak sangat memerlukan
oksigen; hingga riskan untuk “mengurangi” jalur pengisian oksigen ke
otak. (14,15,21,41) Kemudian harus diantisipasi resiko terjadinya iskemik yang menghantui tindakan hiperventilasi.(46)
Suatu tindakan hiperventilasi
pada masa akut kurang popular diterima,yang sering dilakukan (menurut
beberapa penelitian) adalah suatu hiperventilasi intermitten dengan
durasi sekitar 20-30 menit (disertai monitor yang ketat) lalu setelah
itu diberikan oksigen dalam takaran yang tinggi. Tindakan ini dilakukan beberapa kali dalam sehari, sehingga meskipun terjadi peningkatan tekanan intracranial, tetapi tetap dapat terkendali(14,15).
Suatu jurnal yang menuliskan tentang adanya suatu kemungkinan pemberian oksigen dosis tinggi yang selain
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak yang sedang meningkat,juga
akan berguna untuk memenuhi target tekanan parsial oksigen dan
karbondioksida. Peningkatan kadar oksigen, ternyata disinyalir dapat
menurunkan terlepasnya faktor-faktor inflamasi, sitokin dan mengurangi
produksi laktat dari hasil metabolisme otak(52).
2.8 Pengukuran Kadar Oksigen dan Karbondioksida di Otak
Sebenarnya,
untuk mengukur oksigen dan karbondioksida di otak; diperlukan alat-alat
yang dapat mengukur oksigen secara langsung. Beberapa peneliti
mengatakan, pengukuran ini akan
memiliki pengaruh yang besar dalam perhitungan oleh karena adanya
perbedaan antara oksigen di otak dengan oksigen di arteri, perbedaan tersebut berkisar antara 2,5-5 mmHg(26,27,28,29,30,31,32,33).
Hanya satu penulis yang mengatakan bahwa oksigen dan karbondioksida
arteri dapat dipakai sebagai acuan terhadap kadar oksigen dan
karbondioksida otak.(28)
Adapun pengukuran dari gas O2 dan CO2
tersebut dilakukan melalui analisa gas darah; dan hasil yang diperoleh
dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk memperbaiki status gas darah
dari penderita cedera kranioserebral tersebut(14,15).
2.9 Beberapa hal yang dipengaruhi PaO2 dan PaCO2
Tanda tanda vital yang dihasilkan oleh kerja dari organ organ vascular dan respiratory pada penderita cedera kranioserebral berat , secara fisiologis pada mulanya akan mengkompensasi kebutuhan akan oksigen dan pengeluaran karbondioksida ..(37,51)
Tekanan
darah akan menurun sebagai akibat vasodilatasi pembuluh darah , yang
merupakan reaksi dari sensor oksigen terhadap kebutuhan oksigen yang
meningkat , demikian pula dengan kecepatan denyut jantung yang turut
meningkat untuk memompa darah yang telah ditumpangi
oleh oksigen dan karbondioksida , frekuensi nafas yang meningkat untuk
memasukkan oksigen dan membuang karbondioksida , serta dapat terjadinya
hipertermia akibat dari peningkatan metabolisme yang sangat pada
penderita cedera kranioserebral berat .(5)
sumber :
Fritz Sumantri Usman Sr
Neurologist & Interventional Neurologist
http://fsumantri.webs.com/po2pco2traumakepala.htm