Minggu, 30 Maret 2014

       Perfusi seluler bergantung pada sinergi banyak proses fisiologis, sistem pulmoner, endokrin dan sirkulasi yang mempertahankan suatu keseimbangan antara pertukaran dan pengiriman oksigen menuju sel dengan membentuk suatu pasokan darah yang mengandung oksigen dan curah jantung yang adekuat yang di atur oleh sistem saraf autonom.

Sistem kardiovaskuler :

Sistem ini akan meningkatkan curah jantung untuk meningkatkan penghantaran oksigen ke sel, selama keadaan perfusi buruk (TD rendah) mekanisme kompensasi diaktifkan dan menimbulkan peningkatan frekuensi jantung, tahanan vaskuler sistemik (SVR) preload dan kontraktilitas jantung dalam upaya memulihkan volume sirkulasi yang reharusnya,.

Penurunan tekanan darah sistemik mengaktifkan serangkaian respon neurohormonal yang bertujuan mendapatkan kembali curah jantung dan perfusi yang memadai bagi organ vital, penurunan tekanan darah menyebabkan penurunan rangsangan pada baroreseptor dan akhirnya meningkatkan respon simpatis

Rangsangan simpatis  yang terus menerus menyebabkan peningkatan freuensi jantung dan tenaga kontraktil yang meningkatkan curah jantung. Vasokontriksi arteriolar (peningkatan SVR) meningkatkan tekanan darah dan juga mengalirkan aliran darah dari organ yang kurang vital seperti lambung dan usus menuju organ vial seperti jantung paru dan otak, Preload dan curah jantung berikutknya meningkat akibat penyempitan vena, 

Sistem Ginjal :

Ginjal merespon rangsang simpatis dan hipoperfusi lokal dengan mengaktifkan sistem renin-angiotensin yang juga meningkatkan vasokontriksi arterio dan vena, yang mengingkatkan curah jantung dan SVR. aktivasi sistem renin-angiotensin juga merangsang korteks adrenal untuk melepaskan aldosteron yang bekerja di ginjal untuk menyimpan natrium dan air yang eningkatkan volume sirkulasi. 

Sistem Endokrin :

Penurunan tekanan darah juga menyebabkan kelenjar hipofisa melepaskan hormon antidiuretik yang juga meningkatkan tonus vaskular dan merangsang retensi air dan natrium oleh ginjal, sehingga semakin meningkatkan preload.peningkatan preaload meningkatkan curah jantung yang kemudian meningkatkan tekanan darah,. respon kompensasi kolektif secara bersamaan bekerja meningkatkan volume sirkulasi tubuh, tekanan darah, curah jantung guna menyediakan perfusi dan oksigen bagi sel


 
RESIKO  KEMATIAN  PADA  PASIEN
CEDERA  KRANIOSEREBRAL  BERAT
DITINJAU  DARI   ASPEK  PaO2 DAN PaCO2


TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Cedera Kranioserebral Berat
                   Sesuai dengan uraian dari POKJA Neurotraumatologi SMF Neurologi FKUI, bahwa cedera kranioserebral berat adalah cedera kranioserebral yang di dalamnya terdapat unsur-unsur : nilai pada skala koma Glasgow berkisar antara 3 – 8 , kemudian pada gambaran klinis terdapat pingsan yang lebih dari 6 jam disertai adanya defisit neurologik, dan bila dilakukan skenning otak akan didapatkan hasil yang abnormal .  Adapun nilai nilai yang berkisar antara 3 – 8 pada pemeriksaan skala koma Glasgow sendiri , berasal dari komponen komponennya yaitu respon buka mata ( spontan nilai 4, terhadap perintah nilai 3, terhadap respon nyeri nilai 2, tidakada respon nilai 1 ) , respon verbal ( orientasi baik nilai 5, konfusio nilai 4, kata yang tidak tepat nilai 3, mengeluarkan bunyi nilai 2, tidak ada respons nilai 1 ) dan respons motorik ( mengikuti perintah nilai 6, melokalisasi rangsangan  nilai 5, menarik ekstremitas yang dirangsang nilai 4, fleksi terhadap perangsangan nyeri nilai 3, ekstensi terhadap perangsangan nyeri nilai 2, tidak ada respons nilai 1 ) , sehingga nilai tertinggi yang mungkin didapat pada pemeriksaan menggunakan skala koma Glasgow adalah 15 , sedang nilai terendah adalah 3 .(3) Tingkat kejadian dari cedera kranioserebral berat itu sendiri sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 8-20%; dengan jumlah rata-rata tingkat kejadian berkisar di angka 10% dari keseluruhan cedera kranioserebral, dengan frekuensi kejadian tertinggi terdapat pada rentang usia 15 – 50 tahun, yang mana hal tersebut disebabkan karena pada rentang usia tersebut tingkat aktivitas seseorang amat tinggi , sehingga cedera kranioserebral berat yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas , kecelakaan kerja sangat sering terjadi pada rentang umur tersebut .(1.6) Angka kematian yang terjadi pada cedera kranioserebral berat menurut  Currie dan Marion berkisar antara  46-84%. .(1.21)
                   Sementara itu , mengenai jenis kelamin , memang pria lebih banyak mengalami cedera kepala berat dibanding wanita , dengan variasi angka kejadian yang sangat  beragam , namun sebagian besar penulis  berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan karena aktivitas pria yang lebih tinggi dibanding wanita .(1,6,8,21)

2.2  Jenis Respirasi
                   Kita menghirup oksigen dari udara bebas dan membuang CO2 ke udara bebas. Kedua kejadian tersebut merupakan hasil dari proses respirasi yang kita lakukan. Oksigen kita hirup akan melewati proses respirasi ekstrasel dan intrasel, demikian pula pembentukan CO2 .(5,12).

       2.2.1       Respirasi Ekstrasel
                 Pada dasarnya proses respirasi ekstrasel adalah proses pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi di paru. Oksigen dihantarkan ke tempat yang membutuhkannya sedangkan karbondioksida dibuang. Proses pertukaran oksigen tersebut tidaklah  sesederhana itu,  karena berkaitan  dengan berbagai mekanisme , dan organ yang  memegang peran penting adalah paru yang memegang peran teramat  penting(5).
                 Fungsi utama paru adalah membuang CO2 yang terkandung dalam darah dan menyerap sejumlah O2 ke dalamnya. Proses ini dikenal sebagai pertukaran gas paru yang meliputi beberapa tahap antara lain dengan ventilasi udara yang dihirup melalui saluran nafas dan didistribusikan  ke dalam berjuta-juta alveolus. Selanjutnya akan  diikuti oleh proses difusi O2-CO2 melalui membran kapiler alveoulus, dan darah yang sudah kaya akan oksigen tersebut akan  disalurkan ke seluruh tubuh melalui pompa jantung  (5,12).

       2.2.2     Respirasi Intrasel
      Pada proses respirasi intraseluler, organ sel yang paling berperan adalah mitokondria. Fungsi mitokondria adalah menghasilkan energi phosphate melalui serangkaian reaksi dan zat-zat makanan seperti glukosa, asam lemak, dan asam amino dengan dibantu oleh proses oksidasi yang membutuhkan oksigen dan menghasilkan karbondioksida. Rangkaian reaksi tersebut akan menghasilkan senyawa phosphate berenergi tinggi (ATP), lihat gambar 1(5).
                  
2.3    Udara di Dalam Paru-Paru

                   Pada keadaan biasa, udara yang dihirup atau dikeluarkan (volume tidal) sekitar 500 ml/kali, sedangkan frekuensi nafas kurang lebih 15 kali/menit, sehingga jumlah udara yang dihirup dalam 1 menit adalah 7.500 ml/menit (volume semenit). Jumlah udara yang dihirup ini, tidak semuanya ikut dalam pertukaran gas paru, karena ada yang tidak ikut serta dalam pertukaran gas yaitu sekitar 150 ml ( yang ada dalam ruang rugi anatomi),  sehingga hanya 350 ml yang menjadi volume alveolus. Jadi jumlah gas yang ikut dalam pertukaran gas adalah 350 x 15 = 5.250 ml/menit (ventilasi alveolar).
                   Konsentrasi oksigen dalam udara 20,93% dengan tekanan udara 760 mmHg. Tetapi ketika udara dilembabkan di paru tekanan parsial uap air adalah 47 mmHg. Dari angka angka tersebut didapatkan  tekanan parsial O2 dalam paru adalah (760-47) x 20,93% = 149 mmHg. Tekanan O2 dalam alveolus jauh lebih rendah dari udara inspirasi, karena dalam perjalanan udara inspirasi masuk ke alveolus. Sebagian O2 diserap dan diganti oleh CO2, sehingga ketika mencapai alveolus, tekanan parsial O2 hilang sepertiganya, PO2 alveolus sekitar 100 mmHg(4).

2.4            Kecepatan Perpindahan O2 dan CO2 Akibat Perbedaan Tekanan dan Difusi
                   PO2 alveolus adalah 100 mmHg, sedangkan PO2 darah dalam pembuluh kapiler paru 40 mmHg. Perbedaan tekanan sebanyak 60 mmHg menyebabkan kecepatan difusi cukup tinggi dan mendifusikan O2 melalui membrane ke dalam darah yang mengalir cukup cepat pula, dan kondisi ini akan menaikkan PaO2 sampai 97 mmHg. (4)

2.5            Pengaturan PaO2 dan PaCO2
                   Sistem saraf mengatur kecepatan ventilasi alveolus hampir tepat seperti permintaan tubuh, sehingga tekanan oksigen (PaO2) dan tekanan karbondioksida (PaCO2) darah hampir tidak berubah dalam keadaan normal. Hal tersebut disebabkan karena adanya suatu “sensor oksigen” yang memberitahu tubuh kapan oksigen diperlukan dan berapa banyak yang diperlukan. Sensor oksigen tersebar di seluruh sel-sel tubuh dalam bentuk mitokondria sehingga keperluan oksigen akan sangat terpantau dengan adanya sensor oksigen tersebut. Selain itu glomus karotikus dan aortikus, suatu komoreseptor perifer yang bekerja akibat perubahan kadar oksigen di dalam arteri juga memberi andil dalam pengaturan PaO2 dan PaCO2 tersebut(5,22,23,48,49).
              Pengaturan PaO2 dan PaCO2 yang utama dilakukan oleh pusat pernafasan yaitu sekelompok neuron yang tersebar luas dan terletak bilateral di dalam substansia retikularis medulla oblongata dan pons(5).
                   Selain pusat pernafasan, terdapat pula faktor humoral yang mengatur PaO2 dan PaCO2 ini(5). Konsentrasi ion hidrogen merupakan perangsangan utama untuk merangsang neuron-neuron di pusat pernafasan. Demikian pula dengan karbon dioksida. Peningkatan kadar karbon dioksida akan meningkatkan kadar ion hidrogen karena karbon dioksida akan bergabung dengan air untuk membentuk asam karbonat yang akan berdisosiasi menjadi ion hidrogen dan ion bikarbonat; sehingga baik itu karena peningkatan ion hydrogen atau peningkatan kadar karbondioksida yang secara tidak langsung akan meningkatkan kadar ion hidrogen. (5,24,25,49,50)  Keadaan tersebut akan merangsang neuron-neuron di pusat pernafasan dengan cara: difusi langsung karbon dioksida dan ion hidrogen dari darah ke dalam pusat pernafasan dan perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam cairan serebrospinal yang mengelilingi batang otak.(45,46)
                     Pada keadaan trauma atau cedera, khususnya cedera kranioserebral sekunder, akan diproduksi sitokin atau interleukin, dan glutamat yang menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang akan merusak mitokondria di dalam sel. Akibat kerusakan tersebut PaO2 dan PaCO2 arteri akan berubah dikarenakan sistem yang mengaturnya (oksigen sensor) mengalami kerusakan. Terlebih lagi proses cedera kepala tersebut juga mengenai pusat pernafasan di pons dan medulla oblongata sehingga tidak saja pengaturan secara selulernya yang rusak namun juga pengaturan pusatnya juga rusak(5,12). Dari beberapa kepustakaan yang didapat, dikatakan bahwa puncak perburukan dari perubahan PaO2 dan PaCO2 pada pasien-pasien cedera kranioserebral berat adalah 8 - 12 jam setelah onset, dimana tercatat 68 – 82 % pasien cedera kranioserebral berat  mengalami perubahan PaO2 dan PaCO2 pada masa 8 – 12 jam setelah onset , teori yang diberikan untuk pernyataan tersebut adalah bahwa pada saat itu tubuh masih mengadakan kompensasi terhadap setiap perubahan yang terjadi termasuk kompensasi dari sistem pernafasan . Hal tersebut terbukti bahwa diluar waktu 12 jam setelah onset , hanya terjadi 10 – 20 %  perubahan PaO2 dan PaCO2 .(37,38,43) Kemudian  Littlejohn mengatakan  bahwa semakin rendah skala koma Glasgow yang didapat , maka akan semakin besar perubahan dari PaO2 dan PaCO2 yang terjadi , dimana ia mengasumsikan  perubahan tersebut terjadi sesuai dengan tingkat keparahan cedera yang didapat , hal tersebut diperkuat oleh van Sabrinks walaupun tidak ada satu penulispun yang memberikan kepastian dari angka angka yang dicatat .(37,43)
2.6  Otak dan Tekanan Intrakranial
                   Otak seorang manusia mempunyai berat antara 1200-1400 gram, dan tersimpan rapat di dalam rongga kepala. Otak dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan zat-zat makanannya; diperdarahi oleh dua pembuluh darah besar beserta cabang-cabangnya yaitu pembuluh darah arteri vertebrobasiler dan arteri carotis internal. Dalam keadaan fisiologik jumlah darah yang mengalir ke otak (cerebral blood flow) ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak yang kira-kira beratnya 1200-1400 gram adalah 700-840 ml per menit.Otak yang berkedudukan di dalam ruang tengkorak yang solid dan tertutup; memiliki konsekuensi bahwa volume otak ditambah dengan volume cairan otak dan ditambah dengan volume darah harus merupakan angka tetap (konstanta). Pernyataan tersebut kita kenal sebagai hukum Monroe-Kellie dan dengan kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa tekanan yang terdapat di dalam ruang tengkorak (tekanan intrakranial) dipengaruhi dan dipertahankan oleh ketiga elemen tadi. Hukum tersebut berimplikasi bahwa perubahan volume salah satu unsur tersebut akan menyebabkan perubahan kompensasi terhadap unsur lainnya agar tekanan intrakranial dapat dipertahankan. Namun apabila perubahan yang terjadi tidak dapat dikompensasi oleh salah satu elemen tersebut diatas maka akan terjadi perubahan tekanan intrakranial.(4,22,23)
                   Pada saat terjadinya perubahan PaO2 dan PaCO2, maka laju aliran darah ke otak juga akan berubah. Pada PaCO2 yang tinggi dan PaO2 yang  rendah akan terjadi vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah intrakranial, sehingga akan meningkatkan laju aliran darah ke otak, yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial  karena elemen otak dan cairan serebrospinal  dapat dikatakan tidak memegang peran  dalam mekanisme kompensasi bila terjadi perubahan pada tekanan intrakranial .Sehingga praktis secara tidak langsung, pengaturan tekanan intrakranial melalui kompensasi terdapat pada pembuluh-pembuluh darah intrakranial.(4,27,28,31)
                   Bila terjadi  PaCO2 yang rendah dan  PaO2 yang tinggi akan menyebabkan laju aliran darah ke otak berkurang dan pada keadaan yang berlangsung terus menerus dapat menimbulkan vasokonstriksi yang sangat sehingga menimbulkan iskemik di otak(1,3,6,7,8,14,37,44,47). Selain PaO2 dan PaCO2 , perubahan tekanan intrakranial melalui mekanisme  perubahan laju aliran darah ke otak juga dapat disebabkan oleh kadar haemoglobin dan hematokrit , dimana haemoglobin dan hematokrit yang meningkat dapat menyebabkan laju aliran darah ke otak berkurang , demikian pula sebaliknya, Hsia dan Menzel menyebutkan angka 23 – 46 % kematian pada cedera kepala berat yang diakibatkan oleh karena perubahan nilai haemoglobin    (32,52,53 ) , demikian pula dengan pH darah , juga mempengaruhi laju aliran darah ke otak , karena pada saat terjadi alkalemia maka laju aliran darah ke otak akan berkurang , sedangkan bila terjadi asidemia maka aliran darah ke otak meningkat , angka perubahan pH berkisar pada 38%  pada penderita cedera kranioserebral berat.(32,53) Pada glukosa ,peningkatan yang terjadi akan meningkatkan tekanan intrakranial , walaupun tidak ada angka yang menyebutkan secara pasti berapa persen kematian yang terjadi pada cedera kranioserebral akibat peningkatan glukosa .(54)

2.7            Patofisiologi Perubahan PaO2, PaCO2 Serta Hubungannya dengan Cedera Kranioserebral Berat
                   Seperti sudah disebut di atas, bahwa pada saat terjadinya trauma; maka akan terjadi cedera primer dan sekunder. Dalam hal ini, seringkali proses akselerasi, deselerasi, dan puntiran yang terjadi pada kasus-kasus cedera kranioserebral; akan mengganggu pusat pernafasan di Medulla Oblongata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila seringkali ditemukan pasien-pasien cedera kepala datang dengan gangguan pernafasan, yang  akan mengancam oksigenasi otak(1,6,7,8).
                   Selain proses primer tersebut, proses sekunder yang terjadi melalui suatu proses inflamasi, yaitu pelepasan pelepasan sitokin, aspartat, radikal bebas, dan glutamate, akibatnya  akan terjadi kerusakan di mitokondria sel yang  akan mengganggu proses respirasi intrasel. Jadi terganggunya proses respirasi tubuh atau disfungsi pernafasan oleh cedera kranioserebral ini  dapat disebabkan oleh gangguan pada pusat pernafasan di Medulla Oblongata dan proses inflamasi yang terjadi seketika setelah cedera kranioserebral (1,6,7,8).
                   Dari berbagai keputusan, didapatkan bahwa angka kejadian dari perubahan PaO2 dan PaCO2 pada cedera kepala berat sangatlah bervariasi , nilainya berkisar antara 30 hingga 84%, angka kematian yang diakibatkan oleh perubahan tekanan gas gas tersebut adalah berkisar antara 16-30%, dan 10 – 20 % diantaranya melalui mekanisme vasodilatasi dan peningkatan laju aliran darah ke otak.(20,28,30,31) Perubahan PaCO2 pada penderita cedera kranioserebral berat sangatlah bervariasi ( 6 ). Namun semua kepustakaan sepakat, bahwa PaCO2 arteri, harus dijaga dalam ambang batas normal  . Apabila PaCO2 meningkat, akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah otak yang menyebabkan peningkatan laju aliran darah ke otak, dan akhirnya akan terjadi peningkatkan tekanan intracranial. Peningkatan tekanan intrakranial ini dengan berbagai implikasinya merupakan faktor yang harus dicegah dikarenakan akan memperburuk hasil keluaran yang ada (1,6,7,8,9,11,17,18,19,20, 21,34,36,37,42). Sementara itu, apabila kadar PaCO2 arteri turun terlalu rendah, melalui mekanisme vasokonstriksi akan menyebabkan spasme pada pembuluh darah otak serta mengancam terjadinya iskemik(1,6,7,8,9,11,17,18,19,20,21,34,36,37,42). Weiner(7) mengemukakan bahwa penurunan 1 mmHg PaCO2 akan menurunkan laju aliran darah ke otak sebesar 2%. Beberapa peneliti memberi batasan angka kadar PaCO2 normal antara 35-45 mmHg (beberapa penulis menyebut angka 30 mmHg sebagai batas minimal bagi laju aliran darah ke otak yang adekuad) oleh  PaCO2 yang melebihi 45 mmHg sudah dapat meningkatkan tekanan intrakranial, karena terjadi peningkatan aliran darah ke otak sedangkan bila PaCO2 menurun hingga 26 mmHg  dan terus menurun hingga di bawah 25 mmHg, maka CBF akan turun di bawah angka kurang dari 17 mmHg/100 gr/menit (Currie(21) memberikan angka suatu penurunan CBF di bawah 20 cc/100 gr/menit);. Selain terhadap laju aliran darah ke otak, PaCO2 pun berpengaruh terhadap tekanan perfusi otak,  karena tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh mean arterial blood pressure dikurangi dengan tekanan intracranial.(21)
                   Dari kepustakaan, didapatkan keterangan bahwa perubahan PaO2 arteri, tidak memiliki akibat sebesar perubahan PaCO2 (11,17,18,19,20,21,34,36) namun mereka pun sepakat untuk menjaga PaO2 tetap dalam ambang batas normal bahkan cenderung tinggi. Apabila PaO2 berada dalam kadar yang terlalu rendah, maka akan menimbulkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilitasi pembuluh darah otak yang akan diikuti oleh peningkatan laju aliran darah ke otak, dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial. Apabila kadar PaO2 terlalu tinggi, akan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah(1,6,7,8,9,11,17,18,19,20, 21,34,36,37,42). Winer menyebutkan bahwa perubahan kadar PaO2 sebanyak 15% persen, hanya akan mengubah sedikit aliran darah ke otak.(7) Di beberapa kepustakaan disebutkan bahwa sebaiknya kita menjaga PaO2 minimal 100 mmHg, bahkan ada penulis yang memberikan nilai yang lebih tinggi, yaitu berkisar antara 140-160 mmHg(9,11).Namun perlu juga diperhatikan , bahwa tubuh  seringkali mengadakan kompensasi tertentu ( pada saat keadaan asidosis / alkalosis baik itu respiratorik maupun metabolic ) bila telah terjadi perubahan pada status analisa gas darah penderita , sehingga kadang menyulitkan kita untuk mengetahui apakah nilai dari PaO2 dan PaCO2 yang timbul  merupakan nilai sebenarnya atau nilai yang telah terkompensasi , hal demikian juga timbul bila terjadi gangguan pada fungsi ginjal dan paru kronis yang akan menyebabkan perubahan  PaCO2 dan PaO2 .(47)
                   Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui apakah ada suatu hubungan yang bermakna antara perubahan PaCO2 dengan cedera kranioserebral berat memberikan beragam hasil, ada yang menyebutkannya terdapat suatu hubungan yang bermakna, seperti yang dikemukakan oleh Van Sabrinks et al(43), namun ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Carmona et al, Fandino et al dan Sneider et al(17,35,41) menunjukkan tidak adanya suatu hubungan yang bermakna. Sama halnya terdapat perubahan PaO2 hasil penelitian Carmone et al dan Gupta et al(17,42), menyatakan tidak terdapat suatu hubungan yang bermakna antara perubahan PaO2, dengan cedera kranioserebral berat. Hasil tersebut  tidak sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Fandino et al, Van Sabrinks et al(38,43).
                   Salah satu cara tata laksana untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial adalah dilakukan suatu tindakan penurunan PaCO2, pada fase akut terjadinya trauma. Penurunan dilakukan hingga mencapai kadar PaCO2 sekitar 20-25 mmHg, yang dikenal sebagai tindakan hiperventilasi. Penurunan PaCO2 ini akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak dan kondisi ini  secara langsung  akan menyebabkan penurunan laju aliran darah ke otak; dengan akibat (secara tidak langsung) akan memicu proses iskemik cerebral(9,11,39,40,41).
       Hiperventilasi sendiri, memiliki 3 tingkatan, yaitu : Normoventilasi            (PaCO2 36-45 mmHg),  Moderathiperventilasi            (PaCO2 26-35 mmHg), dan Deep Hipervetilasi (PaCO2 20-25 mmHg).(45)
                   Beberapa peneliti, masih ada yang beranggapan, bahwa hiperventilasi merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial(39,40), namun lebih banyak yang beranggapan bahwa :dikarenakan pada masa akut trauma; otak sangat memerlukan oksigen; hingga riskan untuk “mengurangi” jalur pengisian oksigen ke otak. (14,15,21,41)  Kemudian harus diantisipasi resiko terjadinya iskemik yang menghantui tindakan hiperventilasi.(46)
                   Suatu tindakan  hiperventilasi pada masa akut kurang popular diterima,yang sering dilakukan (menurut beberapa penelitian) adalah suatu hiperventilasi intermitten dengan durasi sekitar 20-30 menit (disertai monitor yang ketat) lalu setelah itu diberikan oksigen dalam takaran yang tinggi. Tindakan ini  dilakukan beberapa kali dalam sehari,  sehingga   meskipun terjadi peningkatan tekanan intracranial,  tetapi tetap  dapat terkendali(14,15).
                   Suatu jurnal yang menuliskan tentang adanya suatu kemungkinan  pemberian oksigen dosis tinggi yang  selain untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak yang sedang meningkat,juga akan berguna untuk memenuhi target tekanan parsial oksigen dan karbondioksida. Peningkatan kadar oksigen, ternyata disinyalir dapat menurunkan terlepasnya faktor-faktor inflamasi, sitokin dan mengurangi produksi laktat dari hasil metabolisme otak(52).

2.8            Pengukuran Kadar Oksigen dan Karbondioksida di Otak
                   Sebenarnya, untuk mengukur oksigen dan karbondioksida di otak; diperlukan alat-alat yang dapat mengukur oksigen secara langsung. Beberapa peneliti mengatakan, pengukuran ini  akan memiliki pengaruh yang besar dalam perhitungan oleh karena adanya perbedaan antara oksigen di otak dengan oksigen di arteri,  perbedaan tersebut berkisar antara 2,5-5 mmHg(26,27,28,29,30,31,32,33). Hanya satu penulis yang mengatakan bahwa oksigen dan karbondioksida arteri dapat dipakai sebagai acuan terhadap kadar oksigen dan karbondioksida otak.(28)
                   Adapun pengukuran dari gas O2 dan CO2 tersebut dilakukan melalui analisa gas darah; dan hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk memperbaiki status gas darah dari penderita cedera kranioserebral tersebut(14,15).

2.9  Beberapa hal yang dipengaruhi PaO2 dan PaCO2
            Tanda tanda vital  yang dihasilkan oleh kerja dari organ organ vascular dan respiratory  pada penderita cedera kranioserebral berat , secara fisiologis pada mulanya akan mengkompensasi  kebutuhan akan oksigen dan pengeluaran karbondioksida ..(37,51)
Tekanan darah akan menurun sebagai akibat vasodilatasi pembuluh darah , yang merupakan reaksi dari sensor oksigen terhadap kebutuhan oksigen yang meningkat , demikian pula dengan kecepatan denyut jantung yang turut meningkat untuk memompa darah yang telah  ditumpangi oleh oksigen dan karbondioksida , frekuensi nafas yang meningkat untuk memasukkan oksigen dan membuang karbondioksida , serta dapat terjadinya hipertermia akibat dari peningkatan metabolisme yang sangat pada penderita cedera kranioserebral berat .(5)

sumber :  
Fritz  Sumantri Usman Sr
Neurologist & Interventional Neurologist

http://fsumantri.webs.com/po2pco2traumakepala.htm

Sabtu, 29 Maret 2014

Obat-obatan awat darurat di berikan dengan tujuan :
Untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat lainnya dengan menggunakan obat-obatan

Perhatian !
  • Pemberian obat-obatan adalah orang yang kompeten di bidangnya (dokter atau tenaga terlatih di bidang gawat darurat)
  • Mengingat banyaknya jenis-jenis kegawatdaruratan, maka pemberian obat yang disebutkan di bawah ini untuk mengatasi kegawatdaruratan secara umum sedangkan dalam menghadapi pasien, kita harus melihat kasus per kasus.
Jenis-jenis obat :
Epinephrin
  • Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau syok anfilaktik, hipotensi.
  • Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena. Untuk reaksi reaksi atau syok anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi bradikardi atau hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1 mg = 1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1 μg/mnt dititrasi sampai menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 μg/mnt
  • Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan meningkatkan aliran darah ke otak dan jantung
Lidokain (lignocaine, xylocaine)
  • Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT, Ventrikel Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T
  • Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit sampai dosis total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam
  • dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
  • Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama idioventrikuler
Sulfas Atropin
  • Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim konduksi AtrioVentrikuler
  • Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat (atropinisasi)
  • Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III.
  • Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-0,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg.
  • dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena diencerkan menjadi 10 cc
Dopamin
  • Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat
  • Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa
Magnesium Sulfat
  • Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel takikardi, keracunan digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia
  • Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5% diberikan selama 5-60 menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam
Morfin
  • Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest.
  • Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit
Kortikosteroid
  • Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk mengurangi edema cerebri
Natrium bikarbonat
  • Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III) dan overdosis antidepresi trisiklik.
  • Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.
Kalsium gluconat/Kalsium klorida
  • Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel otot jantung terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi akibat darah donor yang disimpan lama
  • Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan menggunakan drip
  • Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk Kalsium klorida. Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan 1 ampul Kalsium gluconat
Furosemide
  • Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak
  • Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia
  • Dosis 20 – 40 mg intra vena
Diazepam
  • Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan tetanus
  • Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan
  • Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit.

Dosis pada anak-anak
Epinephrin Dosis 0,01/Kg BB dapat diulang 3-5 menit dengan dosis 0,01 mg/KgBB iv (1:1000)
Atropin Dosis 0,02 mg/KgBB iv (minimal 0,1 mg) dapat diulangi dengan dosis 2 kali maksimal 1mg
Lidokain Dosis 1 mg/KgBB iv
Natrium Bikarbonat Dosis 1 meq/KgBB iv
Kalsium Klorida Dosis 20-25 mg/KgBB iv pelan-pelan
Kalsium Glukonat Dosis 60–100 mg/KgBB iv pelan-pelan
Diazepam Dosis 0,3-0,5 mg/Kg BB iv bolus
Furosemide Dosis 0,5-1 mg/KgBB iv bolus

sumber http://dokter-medis.blogspot.com/2009/07/obat-gawat-darurat-drugs-management.html


Dobutamin merupakan agonis beta yang poten dan memiliki efek alfa 1 yang lemah, jadi tidak terlalu menurunkan resistensi perifer sehingga tidak menyebabkan reflek takikardia. 
Dobutamin dapat meningkatkan cardiac output karena meningkatkan kontraktilitas jantung, menurunkan tekanan a. pulmonalis (dilatasi a. pulmonalis akibat perangsangan adrenoreseptor beta2 di a. pulmonalis), namun tidak terlalu meningkatkan laju jantung (efek inotropik melebihi efek kronotropik). Dibandingkan dengan dopamin, pada dosis yang memberi efek inotropik yang sama, dobutamin kurang meningkatkan laju jantung.


Indikasi dan Dosis
1. Syok kardiogenik: 
   Indikasi utama pemberian dobutamin adalah syok kardiogenik akibat infark miokard atau pada gagal jantung kronis. Dosis mulai 2,5 µg/KgBb/mnt kemudian dititrasi sampai terjadi perbaikan TD. Setelah hemodinamik stabil secepat mungkin obat ini ditappering off karena pemberian dobutamin berhari-hari dapat menyebabkan miokard exhausted sehingga sulit menghentikan obat.
2. Bradikardia yang tidak respon dengan pemberian atropin (IV), atau pasien bradikardia yang membutuhkan waktu yang lama untuk memperoleh bantuan obat-obat lain atau intervensi (pemasangan pacemaker temporer). Drip dobutamin dosis rendah efektif untuk meningkatkan laju jantung.

Kemasan 1 ampul = 5ml = 250mg = 250.000mcg
Oplosan : Nacl 0,9% atau Dext 5%

Cara perhitungan dosis:
Rumus =
Dosis x KgBB x 60 mnt
= .... ml/jam  = ....tpm mikrodrip
Pengenceran (mcg/ml)
Keterangan tpm = tetes per menit.       1 cc = 60 tpm mikrodrip infus 

contoh:
dosis 5mcg/KgBB/mnt, dengan berat badan 50 Kg dan pengenceran 250 mg (1 ampul) diencerkan dengan NaCl 0,9%  menjadi 50 ml.

Maka
5 mcg x 50 Kg x 60 mnt     
=
  15.000   
=  3 ml/jam = 3 tpm mikrodrip
250.000 mcg / 50 ml
   5000




Tabel dosis dobutamin per KgBB dengan pengenceran 250 mg (1 ampul) dengan NaCl 0,9%  menjadi 50 ml

Dosis
(mcg/KgBB/mnt)
Kecepatan aliran
ml/jam
2,5
1,2
1,4
1,5
1,7
1,8
2
2,1
2,3
5
2,4
2,7
3
3,3
3,6
4
4,2
4,5
7,5
3,6
4,1
4,5
5
5,4
5,9
6,3
6,8
10
4,8
5,4
6
6,6
7,2
7,8
8,4
9
12,5
6
6,8
7,5
8,3
9
9,8
10,5
11,3
15
7,2
8,1
9
9,9
10,8
11,7
12,6
13,5
17,5
8,4
9,5
10,5
11,6
12,6
13,7
14,7
15,8
20
9,6
10,8
12
13,2
14,4
15,6
16,8
18
Berat Badan (Kg)
40
45
50
55
60
65
70
75

Referensi:
Kabo, Peter. 2010. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Rasional. Jakarta. Balai Penerbit FKUI